Senin, 07 Maret 2011

Hargai Ibu Bapa

Syawal 2008
Tampak dua buah mobil melaju cepat melewati tanah pekuburan yang tampak sepi. Lau sampailah kedua mobil itu di depan sebuah rumah. Mobil berwarna hitam sampai terlebih dahulu dibanding mobil yang berwarna merah. Sang lelaki mengetuk pelan pintu depan, dan makin lama ketukannya makin keras.
“Mak, Alung dan adik pulang mak.” Seru si lelaki. Tetapi tetap tak ada jawaban dari dalam rumah.
Akhirnya lelaki itu pun mencoba membuka pintu, dan ternyata pintu rumah itu tidak terkunci. Lelaki itu merasakan suatu hal aneh yang belum pernah ia rasakan. Ia masuk ke dalam rumah dengan raut muka cemas. Hei, kemana Mak? Mengapa tak menyambut kami? Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang janggal di atas meja. Semacam surat. Ia dekati meja itu lalu ia buka. Adiknya mengikutinya dari belakang. Alung pun mulai membacanya.

15 tahun yang lalu
Di sebuah rumah yang cukup sederhana tinggalah seorang ibu dengan kedua anaknya. Ibu itu memanggil anaknya yang lelaki dengan sebutan Alung dan yang perempuan dengan sebutan Adik. Alung dan adik selalu ikut kemanapun Mak pergi. Adik suka sekali bermain dokter-dokteran. Jika adik sakit, Mak yang obati. Saat Adik pergi dengan Mak, adik terjatuh dan Mak yang obati.
“Adik hendak jadi dokter Mak. Jadi nanti kalau Mak sakit, Mak bisa panggil Adik kapan saja Mak mau.” begitu kata Adik dulu. Adik suka sekali main dokter-dokteran. Bahkan, corong air Mak pun adik pakai untuk bermain. Suatu malam saat Alung dan Adik bermain bersama, Alung terlihat kesal dengan gambar yang Alung buat
“Gambar Alung jelek sekali Mak.” Begitu kata Alung. Dan Mak pun coba tolong Alung. Walaupun saat itu Alung bilang lukisan Alung tak cantik, namun bagi Mak itu adalah lukisan paling cantik yang pernah Mak lihat.
“Alung ingin jadi photographer Mak.” Alung bilang begitu saat Mak buatkan gambar untuk Alung.
“Alung akan sering-sering ambil gambar kita sekeluarga.” Alung bilang begitu pada Mak. Dan Mak senang sekali.

Ramadhan 2007
Sekarang, Alung sudah menjadi photographer terkenal. Tapi, sampai saat ini kita belum pernah ambil gambar sekeluarga. Sementara, lukisan yang Alung gambar malam itu Mak pajang di dalam kamar Mak. Itulah satu-satunya gambar kita sekeluarga yang Mak punya. Waktu berlalu begitu cepat. Alung dan Adik tumbuh menjadi orang terkenal. Tetapi terkadang bukan Mak tidak tahu Alung dan Adik sibuk, tetapi Mak ini kesepian sekali.
Terkadang telepon dekat jendela berbunyi, dan ketika Mak angkat tak terdengar suara apa-apa. Mak sungguh sedih. Orang-orang bilang Mak gila, menunggu anak-anak pulang setiap hari. Karena bagi Mak, itulah hiburan Mak. Kadang Mak menelepon sudah setengah jalan, tapi Mak takut mengganggu Alung dan Adik. Karena Mak tahu anak-anak Mak sibuk. Tapi, satu hari itu Mak memang terdesak. Sakit Mak semakin parah. Mak coba telepon Adik. Tapi seperti biasa, semuanya sibuk.
“Hai Mak. Apa kabar?” tanya Adik di seberang telepon.
“Mak baik cuma,, “ Mak belum menyelesaikan perkataannya, karena Adik sudah memotong terlebih dahulu.
“Mak, nanti Adik telepon lagi. Adik sedang ada pasien hendak operasi.” Begitu kata Adik,
Ketika Mak merasa waktu Mak sudah hampir tiba, Mak ingin bilang, Mak kangen sekali dengan Adik dan Alung. Jika selama membesarkan kalian Mak punya salah pada kalian, tolong maafkanlah Mak.
Hargailah mereka, karena sebagian dari kami tidak pernah mengenal mereka.